The Paradox of Choice Why More Is Less

Ringkasan Buku The Paradox of Choice: Why More Is Less – Bagaimana Supaya Puas dengan Pilihan Kita

Diposting pada

The Paradox of Choice – Why More Is Less adalah sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh psikolog Barry Schwartz. Di dalam bukunya, Schwartz memperlihatkan bahwa menghilangkan pilihan konsumer dapat mengurangi kegelisahan sewaktu berbelanja.

Kemandirian dan Kebebasan dalam memilih adalah faktor yang penting dalam kesejahteraan masyarakat, dan sebaliknya memilih adalah faktor penting untuk kebebasan dan kemandirian. Meskipun demikian, walaupun masyarakat Amerika mempunyai lebih banyak pilihan daripada perkumpulan masyarakat lain sebelumnya, meskipun mereka mempunyai kebebasan dan kemandirian lebih, kita tidak melihat keuntungannya secara psikologis..

— dikutip dan diterjemahkan dari Bab.5, The Paradox of Choice, 2004

Kalau ditanya, apakah kamu mau diberi sepasang sepatu secara gratis? Pasti semua orang menjawab mau. Tapi, kamu harus memilih salah satu dari pilihan yang ada. Apakah kamu mau sepatu yang bertali atau yang tidak bertali? Sebagian memilih yang bertali, sebagian tidak. Mau yang ujungnya bulat atau ujungnya menyempit? Sebagian bulat, sebagian menyempit, sebagian bingung.

Ditanya lagi, kamu mau yang bahan canvas atau bahan denim? Semuanya bingung! Lagi-lagi ditanya, warnanya mau yang biru, abu-abu, item, atau apa? Tambah bingung!!!

Itulah faktanya, seperti yang disampaikan Barry Schwartz dalam buku Paradox of Choice, makin banyak pilihan malah makin bikin kita suntuk, bingung, dan cenderung nggak bisa bahagia. Ada beberapa hal yang perlu kita tahu mengenai choice ini.

PARADOX OF CHOICE : MAKIN BANYAK PILIHAN, MAKIN TIDAK BAHAGIA

Kenyataannya, semakin banyak pilihan kita akan semakin bingung dan sulit mengambil keputusan. Di awal tadi kita sudah nemu contohnya. Kita jadi terlalu lama berpikir dan menimbang-nimbang, hingga was-was bagaimana kalau nantinya apa yang kita pilih bukanlah yang terbaik. Parahnya apabila setelah lama berpikir dan akhirnya menjatuhkan pilihan, kita malah menjadi menyesal dengan pilihan tersebut.

Padahal sebenarnya tidak ada yang perlu disesali. Kita terlalu berpikir kalau beli tas… bagusnya yang warna merah, kuning, atau hijau. Atau kita bingung kalau beli baju yang model kancing atau langsung pakai. Kita menjadi menyesal pada pilihan kita karena terlalu lama menimbang-nimbang kekurangan dan kelebihannya. Itulah mengapa kita harus sadar bahwa sebenarnya pilihan apapun itu baik. Berani mengeliminasi beberapa pilihan dan segera membuat keputusan adalah solusi untuk kita.

barry
Barry Schwartz. sumber : ted.com

ADA YANG NAMANYA MAXIMIZERS DAN SATISFICERS

Apakah itu? Maximizers, menurut Macmillan Dictionary, berarti orang yang membuat pilihan berdasarkan ukuran manfaat yang akan dia dapatkan. Sekilas menarik dan perlu memang menjadi pribadi yang seperti ini. Tapi kadang kita juga perlu menjadi satisficers, yang di dunia ekonomi menurut lexico.com, artinya orang yang bisa segera mengambil keputusan karena dirasa hanya butuh usaha minimal untuk meraih tujuan tertentu.

Seorang satisficer agak bodo amat dengan pertanyaan “apakah ada yang lebih baik dari pilihan ini?” dan memilih untuk segera mengambil keputusan. Seperti cerita Barry soal ia dan temannya yang ingin membeli es krim. Barry menghabiskan waktu dengan memilih rasa apa yang menurutnya paling enak di toko itu, ia mencoba nyaris semuanya. Dan berakhir pada pikiran bahwa rasa es krim kesukaannya adalah yang paling enak. Sedangkan temannya hanya sekilas mengintip menu dan memilih rasa yang tertulis di bagian paling atas papan menu. Secepat itu, semudah itu. Tanpa menyesali pilihannya.

PUAS DENGAN RASA CUKUP

Salah satu hal yang perlu diyakini adalah: kita selalu puas dengan hal yang cukup. Tidak perlu yang gimana-gimana. Kadang kita terlalu sibuk membandingkannya dengan pilihan-pilihan lain atau di luar diri kita yang hanya membikin menyesal. Kita terlalu memikirkan mana yang paling bagus. Padahal dengan merasa cukup, kita jadi tidak perlu memikirkan hal-hal lain tersebut. Kita puas dengan kepunyaan kita, pilihan kita! Apakah itu yang paling bagus, pilihan paling tepat, bodo amat. Paling penting kita sadar, apapun pilihan kita, semuanya akan baik-baik saja.

5 Tips Supaya Puas dengan Keputusan yang kita Pilih.

Selanjutnya, Barry juga memberikan 5 TIPS untuk kita mengatasi banyaknya pilihan yang disuguhkan kepada kita:

  • BERI TENGGAT WAKTU

Batasi dirimu dengan waktu, kapan harus memutuskan. Jangan berlama-lama untuk menimbang dan membandingkan. Kamu hanya akan berakhir pada penyesalan jika terus berfokus pada membandingkan, apalagi kalau ekspektasimu tidak terpenuhi.

  • JADIKAN PILIHANMU PILIHAN SATU-SATUNYA

Banyak riset membuktikan bahwa orang yang tidak tahu bahwa mereka bisa mengubah pilihannya ternyata malah mudah bahagia. Mereka bahagia dengan pilihannya. Kita juga bisa! Kita menyadari bahwa kita bahagia dan cukup dengan pilihan itu. Kita bisa nyaman dengan pakaian kita, bisa menikmati waktu dengan orang tertentu. Karena itu pilihan kita.

  • BUATLAH KEPUTUSAN YANG SAMA

Pasti lebih mudah bagi kita jika berkunjung ke restoran yang sama dan selalu memilih makanan favorit kita daripada kita terus mengharapkan dan mencari-cari mana pilihan makanan lain yang lebih baik. Kita bertanya kepada semua teman kita apa pilihannya lalu membolak-balik buku menu. Tentu itu melelahkan. Walhasil, kita akan sangat menyesal kalau harapan itu tidak terpenuhi. Bukankah lebih enak yaudah apa yang kita putuskan, yuk kita makan dan nikmati? Selesai.

  • JADILAH SEORANG SATISFICER

Jangan jadi seorang maximizer, karena tidak ada yang sempurna, Sayang. Cukuplah kita dengan sebuah pilihan. Untuk menguatkanmu, coba carilah satu alasan kuat kenapa kamu memilih satu pilihan itu dan tinggalkan pilihan yang lain. Itu pasti akan memuaskan!

  • FOKUS PADA PILIHANMU

Udah cukup, nggak usah banding-bandingin sama pilihan yang ada di luar kondisimu. Kamu sudah memutuskan. Ingat, kita memang nggak akan pernah puas. Selalu menginginkan yang lebih baik. Oleh karenanya, cobalah berbahagia dengan pilihanmu saat ini.  Karena kamu tahu, ini cukup dan tepat untukmu.

Demikian resensi buku The Paradox of Choice: Why More Is Less. Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 22 Rabiul Akhir 1442