Entrepreunership di Keluarga

Diposting pada

Saya ga pernah diajarin berdagang sejak dini, di rumah diajarin sekolah yang bener, nilai bagus dapat sekolah bagus, maka meski jarang ranking 1 tapi aku selalu 10 besar dong, next masuk kampus mayan keren lulus “5 tahun bayangannya cuma cari kerja!” Sama sekali skill bisnis ga diasah, nol besar, belum pernah sekali pun jualan kecuali main² jual gambar hasil menang geplakan.

Tentu ngiri dg cerita bro sandi di bawah,

 

View this post on Instagram

 

“Mau belajar bisnis, tapi usia saya baru 14 tahun, gimana ya?” – Full video: Youtube Sandiuno TV (link di bio)

A post shared by Sandiaga Salahuddin Uno (@sandiuno) on

Apalagi cerita pak hermanto bosnya avian, yang diajari bisnis sejak umur 3 taun ama ortunya yang saat itu cuma punya warung klontong sampe sekarang jadi salah satu konglomerasi. Pak her, diajarin uang angpaonya dititip jadi roti di warung emaknya, kalau roti laku untungnya dikasih ke dia, kalau ga laku sampe basi duitnya ilang! Maka bocah 3 tahun bukan minta jajan tapi nawarin jajan ke temen²nya, dst…

Bisa disimak tuh banyak cerita pendidikan dari keluarganya yang menarik disimak, dengan pola itu meski jadi konglomerat dia tetap humble punya visi, termasuk di era covid beliau yang serius berusaha zero termination, alias ga ada phk! Meski di beberapa lini bisnisnya dihajar covid sedemikian parah. Kecakapannya luar biasa tapi hidupnya sederhana, sering mampir makan pinggir jalan tanpa norak kaya eksmud (eksekutif muda) yang cicilan utangnya ga kelar² tapi konsumtif.

….

Untungnya saya, ketemu mamahnya aksa, dari tradisi keluarganya fighter, emaknya jual di pasar mungkin kalau ga bareng² dilarang semua anaknya setelah sakit bakal terus di pasar sampe akhir hayat, kakak pertama produsen tempe, jual ke pasar juga, bahkan sejak muda beliau fight terjun di pasar bukan hanya jadi pedagang bahkan mulai dari kuli, kakak kedua juga kerja keras dari muda keluarganya berbisnis apa aja, sambil juga terus menawarkan jasa² melayani orang² sepuh dari pagi sampe malam, kakak nomer 3 fighter juga bertani, mborong buah dll,

Mamahnya aksa, jaman kuliah dah jualan nasi onigiri, untungnya sudah 2 kali UMR DKI sekarang sebulan, udah bisa gaji org yg bantuin jg,

Eits..jaman kencan, aku lebih banyak ngrepotin daripada ngebantuin, sekarang juga masih jual ini dan itu dan aku sama aja masih lebih banyak rempong daripada bantuin😂….

Jadi aku selalu malu karena ga punya jiwa berdagang!

Ga punya mental apalagi pengalaman, tapi itu semua butuh proses aku meyakini satu hal saja, “aku terdidik sejak kecil diorganisasi, untuk cepat menyesuaikan diri dan belajar apapun dengan sangat cepat, dan cepat matang by proses”, setidaknya kelas 4 sd sudah ikut terlibat panitia inti kegaitan ramadhan dan idhul qurban!

so berwirausaha itu barang nampak, tentu lebih sulit belajar ilmu tadjwid yang harus dengung ini itu yang kita ga tau persis dari mana udara keluar, toh belajar berdagang yang tak perlu aljabar dengan model kalkulus segala hanya mengandalkan mental, filling dan common sense sebagai market reason “harusnya” lebih mudah..

Jadi sejak covid ini, disamping “Nganggur From Home” wfh mah mainstream broo, tak ada pilihan kecuali untuk belajar terjun, pait, susah dan ya begitulah, hasil masih minim, tapi bukan berarti tanda utk mengakhiri, karena dlm proses tidak ada kegagalan, cuma ada dua kata, berhasil atau dapat pelajaran….

Beruntung sekawan sana sini juga mendukung, bahkan ada yang rela mengajari ini dan itu dari yg receh tetek bengek sampe kasih pandangan dan network yang luas, saya tak pernah tau kemana ujungnya, seperti apa? Tapi semua upaya ini hanya untuk satu tujuan “biar hidup saya lebih manfaat”! Tak niatkan belajar, ini yang sering jadi ledekan, “ayah ngerjain apapun untunge cuma ilmu, bukan duit,”

Pas ngomong ke ibu, ku mau berbisnis minta doa! Ibuku yang masih pns oriented tetap menyokong dan mendoakan tapi ya selalu bilang, kenapa harus berbisnis? Kenapa ga kerja?

Jawabannya sederhana, “diajarin mamahnya aksa”, kudu sugih! Emang kalau sugih mau buat apa? Orang bukannya yang penting cukup ga perlu sugih?

Jawabannya yang paling sederhana, “aku ga mau liat anak², keponakan² ku ga punya pilihan dalam hidupnya gara² ga ada yang ndukung secara finansial, ilmu, jaringan dan sebagainya, ke depan semakin rumit tantangannya, tentu ga bisa generasi berikutnya hanya dibekali ijazah nilai bagus dari sekolah yg bagus! Apalagi sekolah makin larang ga karu²an, maka harus ada yg merintis jalan, ntah apa hasilnya biar Allah yg nanti tunjukan”

setelahnya barulah disangoni dua laku, maca yasin lan nariyah, kalau kehendak apapun biar Allah yg numindaki

Aksa sekarang masih, belum genep 1,5 tahun, ada waktu sekitar 12 tahun kedepan sebelum dia beranjak remaja dan lalu dewasa dimana dia akan menentukan pilihan hidupnya,

Jadi kalau pun tujuan sederhana apa yang dijalani adalah mempersiapkan diri seandainya dia nanti bertanya, “Yah, aksa mau jadi CEO 500 global fortune company, apa yang harus aksa mulai?”

Nah itu saya tak sinau sek, aja teko saiki ya sa…
mbok main² dulu, nyobekin buku ayah ga papa dah, ikhlas urak² kembang mamah juga okey, lari²an sepedaan atau apadeh panjat mangga juga boleh,

tapi jangan tanya itu dulu beraat, wong ayah juga masih bakul kelas teriii, mau tak suruh tanya eyang bil gates ayah ga kenal, mau ta suruh tanya om elon ayah ga kenal, jeff bezos, jack ma, apalagi…

Beri waktu 12 tahun untuk ayah mu belajar dulu, ta persiapkan jawabannya dari sekarang, kalau maksa tanya sekarang paling mentok ta beliin buku😂

Innama’al usri yusro, fainnama’al usri yusro, faidzaa farakhta fanshob waila rabbika farghab

#takAdaKataTerlambat
#mencobaHalBaik

—–

status fesbuk seorang kawan yg tidak mau disebut namanya