Review Buku #BerhentidiKamu Belajar bersama dr. Gia untuk Mengetahui Siapa si Jodoh

Diposting pada

Halo Sobat, Kali ini Ahimsa akan mencoba berbagi Review Buku #BerhentidiKamu Belajar bersama dr. Gia untuk Mengetahui Siapa si Jodoh. Simak terus ya

  • Penulis : dr. Gia Pratama (@GiaPratamaMD) #giastory
  • Penerbit : Mizania
  • Terbit : 2018
  • Cetakan : II, 2018
  • Halaman : 277

Buku yang asyik! Itu kesan pertama yang aku dapatkan saat membaca lembar-lembar awal buku ini. Awalnya takut-takut buku ini akan jadi bucin menye-menye, semacam novel romantis yang menggelikan karena judulnya seolah mengarah ke sana. Tapi setelah nekat mulai membaca dan dimotivasi oleh seorang teman “Baca! Bukunya bagus!” ternyata benar, betul-betul asyik. Seru!

Cerita dimulai saat dr. Gia, atau kita sapa Gia aja kali ya, sedang berusaha mencari seorang pasangan hidup, jodohnya, tambatan hatinya. Salah satu yang ia usahakan adalah dengan datang ke tanah suci untuk berdoa lewat momen umroh. Eh, nggak tahunya, pas di sana ia bertemu dengan seorang perempuan yang masyaallah, cantik! Beberapa kali berpapasan dan bersinggungan di momen umroh, ada sebuah pikiran melintas di kepala Gia, “Ah, apakah ini jawaban atas doaku?” Akhirnya seusai umroh pun, komunikasi mereka berlanjut dan beberapa kali janjian untuk ketemu. Sepertinya Gia mendapat lampu hijau.

Perempuan itu namanya Elsa. Tidak butuh waktu lama untuk mereka pedekate hingga akhirnya menemukan klik dan memutuskan untuk pacaran. Mereka kelihatan nyambung banget, satu frekuensi. Ngobrolin apa aja enak, cas cis cus. Bagian ini seru banget, kaya di depan mata menyimak dan membayangkan asyiknya mereka berdua berinteraksi. dr Gia merasa begitu terkesan pada kekasihnya ini, dari keluarga kaya tapi humble, punya banyak teman, pintar dan wawasannya luas, dan sebagainya. Tanpa disadari, ada rasa was-was dalam pikirannya, kalau dirinya tidak bisa menyandingi kerennya Elsa. Sehingga banyak usaha dilakukannya untuk tidak tampak buruk di hadapan perempuan itu. Gia selalu memastikan pakaiannya kece kalau lagi jalan bareng, membayari makan kalau mereka ke restoran, yang dipilih pun bukan tempat makan biasa, tapi yang highclass. Demi “cinta”-nya pada Elsa.

Seorang sahabat, Ari namanya, sudah pernah menyenggolnya dengan mengatakan, “Lo, tuh, bukan cinta ke dia, Gi, tapi lust. Bedakan love dan lust.” Tapi bagi Gia, enggak. Menurut dia, ini beneran cinta. Dia mau berubah dari dirinya biasanya dan selalu mengusahakan yang terbaik adalah salah satu bukti cintanya ke Elsa. Uwu banget yaa!

Waktu berlalu cepat, pada suatu waktu Gia merasakan ada yang berubah pada diri kekasihnya. Jadi dingin tjuy. Wah, kenapa nih? Gia emang ngerasa mereka agak jauh belakangan dan jarang ketemu karena jadwal kerja yang nggak pas emang. Padahal bentar lagi keluarga mereka berdua berencana untuk wisata bareng ke Eropa. Tapi, hubungan mereka malah terasa renggang. Gia berusaha berpikir positif. Bahkan saat berangkat ke Eropa pun, Elsa dingin, bener-bener dingin. Cuek banget. Puncaknya, saat mereka tamasya di pegunungan Swiss, Elsa menyampaikan hal yang langsung membuat Gia membeku. “Kayanya kita temenan aja, deh…”

Sekejap dunia Gia benar-benar gelap, suram, tidak ada lagi cahaya. Dia ngerasa sakit sesakit sakitnya sakit (oke ini reviewer-nya lebay). Betulan, sampai beginilah cara Gia mengungkapkan rasa sakit itu:

Have you ever wanted to cry but no tears came out, so you just stare blankly into space while feeling your heart breaks into a million pieces? I’m still alive but hardly breathing. (Hal. 176)

Setelah itu… kayanya nggak seru deh kalau dibocorin semua, hehehe. Pada akhirnya, apa yang Gia lakukan? Apa dia bisa terus berjalan ke depan? Apakah mereka balikan? Atau, apakah Gia menemui orang lain yang betul-betul merupakan akhir pencarian? Kuy, langsung disimak di bukunya.

Menurutku buku ini memberikan impuls positif, khususnya bagi para sobat ambyar yang mungkin pernah kecewa atau patah hati karena ditinggal kekasih. Kita akan bersama-sama merayakan kesedihan itu dengan menyimak cerita Gia. Perasaan kecewanya terasa nyata sekali saat dibaca. Itu salah satu sisi kerennya buku ini, bisa “ngajak ngobrol”. Enak, asyik, santai. Bukan bacaan memberatkan. Baik yang ngaku suka atau nggak suka baca buku, menurutku akan bisa menikmatinya.

Selain itu, buku ini memainkan banyak perasaan pembaca. Baik perasaan senang ketawa ngakak karena beberapa potongan ceritanya, juga perasaan simpatik ketika terselip hal-hal menyentuh di dalamnya. Meskipun sebagian besar ceritanya adalah gambaran perjalanan cinta Gia sang penulis. Tetapi beliau juga membagikan beberapa cerita yang ia temui sebagai dokter yang menemui berbagai pasien di rumah sakit dengan latar belakang keluarga yang unik-unik. Ada suami istri yang lanjut usia, pasangan muda, bahkan mbak-mbak yang hamil di luar nikah, dan sebagainya. Selain itu, nggak bosenin dan bikin ngantuk bukunya karena ada beberapa halaman yang menyuguhkan ilustrasi gambar. Jadi bisa agak-agak bayanginlah, oalah Gia tuh kek gini, Elsa tuh kek gitu, Fira tuh kek gitu… eh, yah kesebut nama Fira. Siapa itu? Udah baca langsung aja deh mending bukunya. Hihihi.