Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Bagaimana Penerapanya di Indonesia?

Diposting pada

Halo, Sobat Bisnis. Mestinya tidak asing dengan kata “PHK” ya? Memang, istilah yang merupakan akronim dari pemutusan hubungan kerja ini lazim kita dengar dalam  dunia kerja. Walaupun, PHK sendiri adalah momok yang menakutkan bagi siapa saja, khususnya para pekerja. Lantas, sebenarnya apa sih PHK itu? Dan, bagaimana penerapannya di Indonesia? Yuk, kita simak ulasan sinaubisnis.com berikut ini!

Pengertian PHK

Dilansir dari Investopedia, Pengertian pemutusan hubungan kerja (PHK) mengacu pada berakhirnya pekerjaan karyawan di perusahaan. PHK itu bisa disebabkan oleh kemauannya sendiri atau berdasarkan keputusan yang dibuat oleh pemberi kerja. Sementara itu, seorang pekerja yang tidak aktif bekerja karena sakit, cuti, atau PHK sementara tetap dianggap bekerja. Selama, hubungan antara pekerja tersebut dengan pemberi kerja belum diakhiri secara resmi lewat pemberitahuan PHK.

Dalam definisi yang lain, menurut Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Selanjutnya, perlu bagi kita memahami bahwa PHK bisa disebabkan oleh dua faktor, yakni PHK atas dasar keinginan sendiri (sukarela) dan PHK tidak disengaja. Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasannya:

PHK atas Dasar Keinginan Sendiri (Sukarela)

PHK bisa disebabkan oleh dua faktor, yakni PHK atas dasar keinginan sendiri (sukarela) dan PHK tidak disengaja, gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Ternyata PHK tidak melulu datang dari pemberi kerja saja. Kadang, PHK malah muncul dari keinginan pekerja sendiri. Biasanya, hal itu disebabkan oleh beberapa alasan, misal menemukan pekerjaan yang lebih baik di perusahaan lain, pensiun dari angkatan kerja, mengundurkan diri untuk memulai bisnis sendiri, atau istirahat dari pekerjaan.

Namun, PHK atas keinginan pekerja sendiri terkadang justru disebabkan oleh kondisi yang sulit, atau biasa disebut pemecatan konstruktif (constructive dismissal). Dimana karyawan tersebut berhenti bekerja dari perusahaannya lantaran tekanan yang berat dari pemberi kerja, peningkatan kerja, atau kondisi kerja yang sulit. Sedangkan, gaji yang ia terima sebanding, atau bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhannya.

Dalam kondisi lain, pemberhentian paksa karena ultimatum untuk berhenti atau dipecat, juga termasuk dalam pemecatan konstruktif. Bahkan, apabila selama bekerja terdapat pelanggaran hukum oleh perusahaan terhadap karyawannya, maka pekerja itu berhak menerima kompensasi atau tunjangan.

PHK Tidak Disengaja

Jenis PHK ini adalah PHK yang terjadi karena pemberi kerja memecat atau memberhetikan karyawannya. Karenanya, jika dijabarkan faktornya maka akan diperoleh dalam beberapa hal berikut, diantaranya:

  • Perampingan Karyawan

Dalam beberapa kasus, perusahaan terkadang terpaksa harus merampingkan karyawan. Hal itu bukan karena kesalahan karyawan sehingga ia dipecat. Melainkan, ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya, semisal untuk menurunkan biaya operasional, merestrukturisasi organisasi, atau bahkan memang sudah tidak membutuhkan keahlian karyawannya.

  • Pemecatan

Lumrahnya, seorang karyawan akan dipecat ketika prestasi kerjanya tidak memuaskan, baik karena perilakunya tidak sesuai dengan budaya perusahaan, atau perilaku etis yang melanggar kebijakan perusahaan. Namun demikian, dalam praktiknya, banyak perusahaan yang memecat karyawannya tanpa memberikan alasannya.

  • Pemberhentian Ilegal

Pada kenyataannya, ternyata ada perusahaan yang memberhentikan karyawannya karena beberapa hal yang dianggap ilegal, seperti agama, ras, disabilitas, dan yang lainnya. Oleh karenanya, pemberhentian tersebut disebut pemberhentian ilegal.

Penerapan Aturan PHK di Indonesia

Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah peraturan yang mengatur mengenai PHK di Indonesia, gambar oleh Anna Shvets from Pexels

Mengenai PHK, setiap negara tentunya mempunyai aturan masing-masing, tak terkecuali di Indonesia. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, yakni peraturan tentang ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya PHK, diatur di UU Nomor 13 Tahun 2003. 

Dan, berdasarkan itu, disebutkan di dalamnya, PHK di Indonesia dapat dilakukan oleh pemberi kerja melalui pemecatan atau oleh karyawan melalui pengunduran diri. Adapun prosedur PHK, selain telah diatur di dalam UU tersebut, juga diatur di dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Lalu, kaitannya dengan pengunduran diri oleh karyawan juga memiliki ketentuan sendiri dalam aturan itu. Yakni, di dalam 26 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2003 berbunyi: “pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertai alasannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai mengundurkan diri.

Menurut Guru Besar Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono, berdasarkan ketentuan itu maka perusahaan diperkenankan mengajukan permohonan lebih dari 30 hari, dan tidak boleh kurang dari itu. Sebab, maksud dari aturan tersebut sejatinya memberi kesempatan untuk perusahaan menyiapkan pencarian pengganti untuk karyawannya yang mengundurkan diri.

Kemudian, di ayat selanjutnya, 2 dan 3 dijelaskan apabila setelah karyawan mengajukan permohonan diri namun tidak ada jawaban dari perusahaan. Maka, 14 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri (tanggal terakhir bekerja), perusahaan dianggap telah menyetujui pengunduran diri tersebut.

Jenis Jenis PHK

Setelah mengetahui ketentuan PHK di dalam UU, maka penting juga untuk mengetahui jenis PHK. Dimana di dalam UU tersebut PHK dibagi menjadi dua jenis, yaitu penghentian tanpa sebab dan karena sebab. Pertama, penghentian tanpa sebab terjadi ketika karyawan diberhentikan karena merger, kebangkrutan, atau reorganisasi perusahaan

Kedua, penghentian karena sebab terjadi lantaran karyawan melakukan pelanggaran, seperti pelanggaran kontrak kerja, tidak bisa bekerja lebih dari enam bulan karena sengketa hukum, atau tidak masuk kerja lebih dari lima hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan bukti yang memadai.

Pembayaran Kompensasi

UU tentang PHK dibagi menjadi dua jenis, yaitu penghentian tanpa sebab dan karena sebab, gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Dalam PHK, uang kompensasi kerapkali menjadi polemik antara pemberi kerja dan karyawan. Untuk itu, mengenai kompensasi ini diatur juga di dalam UU ketenagakerjaan sebagai penyelesaian PHK, yang kemudian dibagi menjadi empat jenis, diantaranya:

  • Pesangon atau Severance Pay

Melansir dari Cekindo, pesangon didefinisikan sebagai kompensasi kepada karyawan karena pemutusan hubungan kerja. Pemberian uang tersebut adalah sebagai bentuk penghargaan untuk karyawan oleh pemberi kerja atas masa baktinya sekaligus penggantian hak. Itulah sebabnya, pesangon ini merupakan salah satu kompensasi yang wajib diperhatikan oleh perusahaan.

Merujuk pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, di dalam pasal 150 dan 156 disebutkan secara umum bahwa perusahaan wajib membayar pesangon kepada karyawannya yang di-PHK sebagai uang penghargaan serta mengganti hak yang harus diterima karyawan. Namun, kewajiban itu akan gugur ketika karyawan dalam perusahaan itu melakukan tindakan buruk terhadap perusahaan, semisal tindak korupsi.

  • Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) atau Long Service Pay

UPMK merupakan uang penghargaan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan yang berhenti atau diberhentikan sesuai masa kerja atau lama kerja di perusahaan. Dan, nominal yang diterima setiap karyawan berbeda-beda sesuai dengan jabatan dan lama kerja. Maka, bagi karyawan yang telah bekerja selama 3 tahun, tentu akan berbeda UPMK yang ia terima dibanding dengan karyawan yang baru bekerja selama 1 tahun.

  • Uang Penggantian Hak (UPH) atau Compensation Rights Pay

UPH adalah kompensasi kepada karyawan yang berhenti atau diberhentikan dengan dasar perhitungan sebagai berikut:

  1. Cuti tahunan yang belum diambil.
  2. Biaya perjalanan ke tempat kerja.
  3. Penggantian perumahan.
  4. Pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 % dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
  5. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja.
  • Uang Pisah (UP2) atau Separation Pay

UP2 ialah uang dari perusahaan yang diperuntukan bagi karyawannya yang berhenti atau diberhentikan dengan nominal sesuai yang tercantum pada perjanjian kerja. Karena itu, nominal dan ketentuan UP2 tidak diatur secara rigid di dalam UU lantaran hal itu berkaitan dengan perjanjian kerja antara perusahaan dan karyawan.

Penutup

Jadi, demikianlah ulasan sinaubisnis.com mengenai PHK dan penerapan aturannya di Indonesia. Harapannya melalui penjelasan ini dapat menjadi tambahan wawasan bagi Sobat Bisnis dalam mengarungi dunia kerja. Walaupun, tentunya siapapun tidak ada yang menginginkan PHK. Namun, perlu kiranya kita membekali diri ketimbang tidak tahu sama sekali. Semoga tulisan ini bermanfaat ya!